BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam GBHN, dinyatakan bahwa pola dasar pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia. Jadi jelas bahwa hubungan antara usaha peningkatan kesehatan masyarakat dengan pembangunan, karena tanpa modal kesehatan niscaya akan gagal pula pembangunan kita.
Usaha peningkatan kesehatan masyarakat pada kenyataannya tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan saja, karena masalah ini sangatlah kompleks, dimana penyakit yang terbanyak diderita oleh masyarakat terutama pada yang paling rawan yaitu ibu dan anak, ibu hamil dan ibu yang menyusui serta anak bawah lima tahun (1).
Penyakit adalah suatu keadaan abnormal dari tubuh atau pikiran yang menyebabkan ketidak nyamanan, disfungsi atau kesukaran terhadap orang dipengaruhinya. Untuk menyembuhkan penyakit, orang-orang biasa berkonsultasi dengan seorang dokter.Patologi adalah pelajaran tentang penyakit.Subyek pengklasifikasian sistimatik penyakit disebut nosologi.Badan pengetahuan yang lebih luas tentang penyakit adalah kedokteran.
Penyakit menular adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman yang menjangkiti tubuh manusia.Kuman dapat berupa virus, bakteri, amuba, atau jamur.Beberapa jenis penyakit yang menular seperti anthrax, demam berdarah, diare, malaria, rabies, tuberkulosis, penyakit tangan, kaki dan lain-lain.
Penyakit Kronis adalah penyakit yang berlangsung sangat lama. Beberapa penyakit kronis yang sering menyebabkan kematian kepada si penderitanya seperti AIDS.
Wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menulardalam masyarakat yang jumlah penderita meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.Dengan begitu harus dikehendaki agar wabah dapat segera ditetapkan apabila ditemukan suatu penyakit yang dapat menimbulkan wabah, walaupun penyakit tersebut belum menjalar dan belum menimbulkan malapetaka yang besar dalam masyarakat.
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulya atau meningkatnya kejadian morbiditas/mortalitas yang bermakna secara epiodemologis pada suatu daerah dalam periode tertentu. Apa bila didapatkan penderita atau tersangka penderita KLB ini, Kepala Wilayah atau Daerah wajib segera melaksanakan tindakan penanggulangan seperlunya dengan bantuan Unit Kesehatan setempat agar tidak berkembang menjadi wabah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja yang menyebabkan penyakit bisa menular?
2. Apa saja dampak yang diakibatkan oleh penyakit menular terhadap tubuh kita?
3. Apa saja gejala-gejala bagi seorang yang terjangkit penyakit menular?
4. Bagaimana cara memutuskan rantai penularan atau menyembuhkan penyakit menular?
5. Apa yang harus dilakukan dalam mencegah penyakit agar tidak menyebar luas?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui cara penularan penyakit yang mudah menular.
2. Untuk mengetahui apa saja dampak yang telah diakibatkan oleh penyakit menular.
3. Untuk mengetahui gejala-gejala yang ditimbulkan oleh seseorang yang terjangkit penyakit menular.
4. Untuk mengetahui cara yang tepat dalam memutuskan rantai penularan serta cara penyembuhan yang terbaik bagi para penderita.
5. Untuk mengetahui tindakan yang harus dilakukan dalam mengantisipasi penyakit agar tidak meluas dan sampai memakan korban.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENYAKIT TUBERKULOSIS ATAU TB
Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis /TBC), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman Tuberkulosis adalah kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
Sumber penularana adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe, saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-nagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Saat ini micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (WHO). WHO mencanangkan keadaan darurat global untuk penyakit TB pada tahun 1993 karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB.
Indonesia merupakan penyumbang penderita TBC nomor 3 di dunia setelah India dan Cina. Dengan diketahuinya penyakit TB ini menularar dan berbahaya maka segenap daerah yang ada di Indonesia mencoba untuk mencegah dan mengobati penyakit ini agar tidak semakin meluas, seperti yang ada di kota Metro (Lampung) Dalam pemberantasan penyakit TBC atau kuman tuberkulosis di kota Metro mengacu kepada kebijaksanaan Departemen Kesehatan RI dengan strategi DOTS yang direkomondasi WHO yang mulai dilaksanakan pada tehun 1995. Di kota Metro terdapat 4 rumah sakit (RSU A Yani, RSU Mardi Waluyo, RS Islam dan RS Muhammadiyah). Sebanyak 3 rumah sakit yang sudah melakukan MOU untuk mlakukan pengobatan penderita TB dengan stratgi DOTS. Pada tahun 2001 telah dibentuk Tim Gerakan Terpadu Nasional (Gerdunas) TBC tingkat Provinsi dan Tim Gardunas TBC tingkat kabupaten/kota.
Dalam pelaksanaan program pelayanan kesehatan dasar. Kota Metro memiliki Puskesmas pembantu. Pelaksanaan program penanggulangan TBC di kota Metro dilakukan pada 1 Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), 3 Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) dan 6 Puskesmas Satelit. Jumlah Rumah Sakit di kota Metro yaitu 4 unit, terdiri dari 1 RS Pemerintah dan 3 RS Swasta, Balai Pengobatan 3 unit serta Rumah Bersalin 7 unit. Jumlah Dokter Praktik Swasta di Kota Metro yaitu 65 orang tersebar diwilayah kota Metro.
Dalam rangka evaluasi hasil kegiatan Penanggulangan Penyakit TB telah dilakukan pertemuan evaluasi program secara rutin per Triwulan dengan melibatkan Pengelola TB Puskesmas dan Rumah Sakit se Kota Metro. Adapun hasil kegiatan program p2TB dikota Metro tahun 2009 yaitu Cakupan Penemuan Kasus (CDR) sebesar 44.09 % terjadi penurunan sebsar 6.61% jika dibandingkan dengan tahun 2008 (50.7%). Angka konversi yaitu 70.83% berarti terjadi peningkatan 4.23% dibandingkan dengan tahun 2008 (66.6%), sedangkan angka ksembuhan (Cure Rate) pada tahun 2009 yaitu 81.65% berarti terjadi penurunan sebsar 2.01% jika disbandingkan tahun 2008 (90.32%). Angka CNR tahun 2009 yaitu 215.44/100.000 penduduk.
Dari data diatas harus diwaspadai karena terjadi penurunan angka CDR walaupun walaupun terjadi peningkatan angka konversi angka cure rate artinya dari kasus TB yang ditemukan dan diobatitelah dilakukan manajemen kasus dengan baik tetapi perlu diupayakan lebih maksimal dalam rangka peningkatan mutu playanan pengobatan penderita TB.
Program penanggulangan TBC sampai saat ini menimbulkan harapan walaupun dalam situasi krisis yang sulit. Pencanangan GERDUNAS TBC sebagai gerakan terpadu nasional telah mendorong timbulnya komitmen politis yang kuat sehingga penyebaran DOTS dapat terlaksana dengan baik, walaupun dalam pelaksanaan dilapangan adanya GERDUNAS TBC masih belum bisa berjalan sperti yang diharapkan tetapi terus dilakukan upaya pendekatan dalam rangka peningkatan vakupan program p2TB di kota Metro.
Dalam rangka kerjasama lintas program dan lintas sektoral dalam kegiatan program P2TB telah dibentuk TIM Gerdunas TB kota Metro yang melibatkan lintas program dan sector terkait, Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat di kota dan kecamatan di wilayah kota Metro dan telah dilakukan pertemuan rutin dalam rangka evaluasi peran Tim Gerdunas TB dalam kegiatan program P2TB di kota Metro.
Dalam rangka mensukseskan pelaksanaan penanggulangan TBC, prioritas ditunjukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, penggunaan obat yang rasional dan paduan obat yang sesuai dengan strategi DOTS. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. PMO adalah seseorang yang bertugas untuk mengawasi, memberikan dorongan dan memastikan pendrita TB menelan OAT secara teratur sampai selesai. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan tetapi bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat bersal dari keluarga penderita, Tokoh Agama (TOGA) dan Tokoh Masyarakat (TOMA). Peran seorang PMO sangat penting dalam pengobatan penderita tuberculosis karena dengan pengobatan yang cukup lama yaitu 6-8 bulan dipelukan pengawasan langsung bagi pendrita terutama pada tahap intensif pada 2 bulan pertamadan juga pada fase lanjutan karena dihawatirkan penderita akan mengkir atau putus berobat sebelum berahirnya masa pengobatan. Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap dimasa lalu dapat menimbulkan kekebalan ganda kuman TBC terhadap OAT atau Multi Drag Resistance (dep kes RI, 2002).
CASE DETECTION RATE (CDR)
PROGRAM P2 TB KOTA METRO TAHUN 2001-2009
ANGKA KONVERSI
PROGRAM P2 TB KOTA METRO TAHUN 2001-2009
CASE NOTIFICATION RATE (CNR)
PROGRAM P2 TB KOTA METRO TAHUN 2001-2009
ANGKA CURE RATE
PROGRAM P2 TB KOTA METRO TAHUN 2001-2009
SUCCES RATE
PROGRAM P2 TB KOTA METRO TAHUN 2001-2009
B. PENYAKIT ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)
Penyakit ISPA atau dikenal sebagai penyakit infeksi pada saluran pernapasan akut. Infeksi ini menyerang akut saluran pernapasan bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah. ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik dinegara berkembang maupun dinegara maju dan sudah mampu. dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa. Dimana ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang pentingkarena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. 40%-60% dari kunjungan di puskesmas adalah oleh penyakit ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % -30 %. Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan.
Program pemberantasan ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984, dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian khususnya pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA, namun hingga saat ini angka mortalitas ISPA yang berat masih sangat tinggi. Kematian seringkali disebabkan karena penderita datang untuk berobat dalam keadaan berat dan sering disertai penyulit-penyulit dan kurang gizi. Data morbiditas penyakit pneumonia di Indonesia per tahun berkisar antara 10 -20 % dari populasi balita. Oleh karena itu penyakit ISPA ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia termasuk didalamnya di Provinsi Lampung dan Kota Metro. Menurut hasil yang ada di kota Metro setelah dilakukan penyelidikan terhadap penyakit ini, maka diketahui penyakit ISPA pnemonia masih cukup melegakan. Dari hasil yang diketahui cakupan pnemonia pada balita di kota Metro masih sangat rendah dari target yang telah ditetapkan. Cakupan program p2 ISPA yaitu penemuan kasus pneumonia di kota Metro pada tahun 2009 yaitu 13.25%, terjadi penurunan cakupan sebesar 6.22% jika disbanding dengan tahun 2008 sebesar 19.47% cakupan pneumonia balita tertinggi yaitu di puskesmas Banjar Asri sebesar 71.43%, sedangkan terendah yaitu di puskesmas Yosodadiyaitu 0%. Untuk cakupan program ISPA Non Pnemonia pada tahu 2009 ditemukan sebanyak 18.861 kasus.
Dalam pelaksanaan program P2 ISPA terdapat berbagai kendala yakni diantaranya keterlambatan laporan dari puskesmas ke Dinas Kota Metro pada setiap bulannya sehinnga terjadi keterlambatan laporan dari Dinkes Metro ke Dinkes Provinsi, cakupan pneumonia masih jauh dibawah target (<10% dari jumlah balita), petugas puskesmas dalam pemeriksaan balita sakit yang berobat tidak atau jarag menggunakan sound timer dalam rangka mendiagnosa kasus pneumonia, rendahnya kerjasama lintas program dalam pelaksanaan program p2 ISPA dan NAKES yang telah dilatih MTBS tidak melakukan desinfo kepada petugas lain dipuskesmas dalam rangka penjaringan kasus ISPA di pneumonia puskesmas.
Dalam pelaksanaan program ini terdapat rencana tindak lanjut untuk periode berikutnya seperti menghimbau puskesmas agar mengirimkan laporan kegiata program tepat waktu dalam rangka validitas data puskesmas dan keterlambatan pengiriman laporan bulanan program P2 ISPA ke Dinkes Provinsi Lampung, menghimbau petugas puskesmas untuk selalu untuk menggunakan Protap dan Sound Timer dalam pemeriksaan dan pendiagnosaan kasus pneumonia pada setiap balita sakit yang dating berobat ke puskesmas,menghimbau petugas puskesmas untuk melakukan MTBS bagi semua balita yang sakit yang dating berobat ke puskesmas dalam rangka penemuan penderita pneumonia di kota Metro, meningkatkan kerjasama dengan lintas program dalampelaksanaan program P2 ISPA di puskesmas, mengaktifkan SK Kepala Dinas tentang pelaksanaan MTBS di kota Metro yaitu dengan melibatkan lintas program terkait dalam rangka peningkatan cakupan program P2 ISPA di puskesmas kota Metro dan melaksanakan supervise atau imbingan teknis tentang pelaksanaan MTBS ke puskesmas.
Hasil Pelaksanaan Program P2 ISPA di Kota Metro :
PROSENTASE CAKUPAN PENYAKIT ISPA PNEUMONIA BALITA
(<1-4 th) PER PUSKESMAS DI KOTA METRO TAHUN 2009
JUMLAH PENEMUAN KASUS PENYAKIT ISPA NON PNEUMONIA BALITAPER PUSKESMAS
DI KOTA METRO TAHUN 2009
C. PENYAKIT KUSTA
Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen, adalah sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang paling banyak memiliki penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India dan Brazil.
Bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu.Umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah.
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai microbakterium, dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”.
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik.Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Secara umum, tanda-tanda itu adalah :
• Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.
• Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak.
• Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
• Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit.
• Alis rambut rontok.
• Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).
Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :
• Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
• Anoreksia.
• Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
• Cephalgia.
• Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.
• Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan hepatospleenomegali.
• Neuritis.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.
Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, disetujui resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi penghapusan kusta.
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar.Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson.Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.
Obat terapi multiobat kusta.Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapi kusta secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010. Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan pertama.Cara ini aman dan mudah.Jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan obat.
Oleh karena Indonesia adalah rengking no 3 dalam jumlah penderita kusta maka di Provinsi Lampung khususnya kota Metro melakukan kegiatan untuk mengantisipasi penyakit ini tidak menyebar lebih luas hingga memakan korban. Dalam melakukan pelaksanaan program P2 Kusta bahwa didaerah lampung khususnya kota Metro terdapat berbagai kasus yakni penyakit kusta yang ada di kota Metro selama ini dilaksanakan secara pasif yaitu hanya dari penderita yang datang berobat ke puskesmas. Kendala yang dihadapi di puskesmas yaitu tenaga pengelola P2 Kusta belum pernah dilatih program P2 Kusta, demikian juga untuk tenga di kota Metro belum ada yang pernah dilatih program P2 Kusta. Hal ini menyebabkan kurang optimalnya kegiatan program P2 Kusta karena tidak menutup kemungkinan terhadap penderita kusta diwilayah kerja puskesmas di kota Metro. Pada tahun 2009 idak terdapat penderita kusta dilaporkan oleh puskesmas yang ada dikota Metro. Dalam penatalasanaan kasus tahap pengobatan di kota Metro sudah dilakukan oleh pengelola program P2 Kusta Puskesmas. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah.
Kendala dalam pelaksanaan Program P2 Kusta seperti tenaga pengelola Program P2 Kusta di Kota Metro belum diikutkan pelatihan Program P2 Kusta oleh Dinkes Provinsi Lampung, tenaga pengelola Program P2 Kusta di puskesmas diwilayah kota Metro belum pernah dilatih Program P2 Kusta, pelaksanaan kegiatan Program P2 Kusta dikota Metro belu bisa berjalan seperti yang diharapkan karena kegiatan Case Finding atau penemuan kasus dan Case Holding atau penatalaksanaan kasus belum bisa berjalan dengan baik dan pencatatan dan pelaporan kusta sudah dilapokan ke Dinkes jika ditemukan puskesmas.
Untuk periode selajutnya terdapatbrencana tindak lanjut seperti mengoptimalkan kegiatan penemuan penderita melalui penemuan penderita kusta di puskesmas secara aktif dan pasif, mengusulkan kedinas kesehatan Provinsi Lampung agar petugas Dinkes (pengelola Program P2 Kusta) dan petugas pengelola Program P2 Kusta Puskesmas agar dilatih Program P2 Kusta dan melakukan Advocacy ke Pemda Kota Metro dalam rangka dukungan politis dan dukungan dana kegiatan Program P2 Kusta di kota Metro di tahun 2010.
D. PENYAKIT IMS dan HIV/AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV, atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
Infeksi menular seksual (IMS) disebut juga Penyakit menular seksual (PMS) atau dalam bahasa Inggrisnya sexually transmitted disease (STD), sexually transmitted infection (STI) or venereal disease (VD). Infeksi (lebih tepatnya infeksi-infeksi) yang digolongkan dalam IMS/PMS salah satu cara penularannya melalui hubungan seksual (vaginal, oral, anal) dengan pasangan yang sudah tertular. Jenisnya sangat banyak, semakin sering kita berganti-ganti pasangan seks semakin besar kemungkinan tertular (bisa saja tertular berbagai macam virus, bakteri, jamur, dan protozoa dalam tubuh kita).Ada jenis yang efeknya terasa dalam 3 hari sesudah terpajan (terkena), ada pula yang membutuhkan waktu lama.Sebaiknya IMS cepat diobati karena menjadi pintu gerbang masuknya HIV ke dalam tubuh kita.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua Negara.
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya.Terkadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
Gejala dan komplikasi
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV.Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh.Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan.Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan.Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo.Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.
HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan sebagai bulatan-bulatan kecil (diwarnai hijau) pada permukaan limfosit setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop elektron.
AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL) darah, maka kekebalan di tingkat selakan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan. Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun.Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi.Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat.Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini.Warisan genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting.Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula. Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.
Biasanya dalam penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral.Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif.Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi.Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang.Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV.Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV.
Dalam penularan penyakit ini bukan hanya melewati hubungan seksual akan tetapi lewat ibu yang meyusui, lewat donor atau transfusi darah, bayi dalam kandungan atau rahim, penggunaan jarum suntik berama-sama dan masih banyak lagi.
Di Negara Indonesia penyakit ini masih menjadi momok yang menakutkan karena masih banyak para penderita HIV/AIDS maupun IMS yang belum diketahui bagaimana cara dalam menyembuhkannya. Sampai sekarang belum ditemukan obat yang mutahir yang mampu menyembuhkan penyakit ini. Oleh sebab itu untuk mengurangi resiko kematian yang disebabkan penyakit ini yang mampu menular ke orang lain, maka dilakukannya pengobatan dan pencegahan dengan cara memberi tahu masyarakat yang ada di Indonesia, tetapi pencegahan serta pengobatan ini sangat sulit karena bagi para penderita misalnya, penderita kebanyakan cenderung untuk tertup dalam mencari pengobatan penyakitnya. Hal ini mungkin disebabka karena jika seseorang diketahui menderita IMS dan HIV/AIDS terdapat fenomena di masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai norma-norma agama dan menjunjung adat istiadat akan mendiskriminasi penderita. Padahal hal ini lambat laun perlu dihilangkan karena diharapkan jika masyarakat sitemukan seseorang dengan IMS dan HIV/AIDS bisa segera diketahui dalam rangka menghindari atau menimalisir terjadi penularan penyakit. Oleh karena itu di Provinsi Metro melakukan pelaksanaan program P2 HIV/AIDS, telah diketahui pada tahun tahun 2008 terdapat 7 orang menderita HIV/AIDS, dimana 2 orang meninggal pada tahun 2005. Pada tahun 2009 terdapat 1 penderita HIV/AIDS meninggal. Jadi penderita HIV/AIDS di kota Metro pada tahun 2009 ada 4 orang. Perlu diwaspadai dan diantisipasi bahwa penderita HIV/AIDS dari tahun ke tahun di Provinsi Lampung termasuk di kota Metro meningkat. Seperti kita ketahui penderita HIV/AIDS merupakan venomena gunung es, dimana kasus penderita HIV/AIDS yang sebenarnya mungkin lebih banyak daripada yang terpantau. Hal ini karena penderita HIV/AIDS pada umumnya tersembunyi dan mentupi penyakitnya karena asih stigma di masyarakat bagi para penderita HIV/AIDS dikucilkan dan diasingkan dari pergaulan. Sebagai gambaran bahwa bila terdapat 1 penderita HIV/AIDS maka diperkirakan terdapat sekitar100 orang disekitarnya berpotensi terkena HIV/AIDS.
Pada tahun 2008 telah terbentuk KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) di kota Metro, dimana kota Metro termasuk kab/kota yang mendapat bantuan dana dari KPA Nasional selain kota Bandar Lampung. Diharapkan dengan andanya KPA di kota Metro akan semakin baik Kerjasama Lintas Program dan Lintas Sektoral dalam penanggulangan penyakit HIV/AIDS di kota Metro.
Dalam melaksanakan program P2 HIV/AIDS ini memiliki berbagai kendala seperti di kota Metro belum menyusun Rencana Strategis Penanggulangan HIV/AIDS, di kota Metro juga belummenganggarkan untuk kegiatan survey HIV/AIDS, peran serta masyarakat masih rendah karena kurangnya Desiminasi Informasi tentang program P2 IMS dan HIV/AIDS kepada masyarakat dankurangnya kerjasama lintas program dan sektoral dalam pelaksanaa program P2 IMS dan HIV/AIDS.
Di dalam program ini terdapat rencana tindak lanjut untuk periode selanjutnya yakni mengadakan kerjasama dengan KPA kota Metro dalam melaksanakan program P2 HIV/AIDS di kota Metro, sosialisasi dan advokasi kepada Pemda Kota Metro tentang pentingnya Renstra dan dukungan politis serta dana dalam kegiatan program P2 HIV/AIDS, meningkatkan kerjasama dengan lintas program dan sektoral terkait dalam pelaksanaan kegiatan program P2 IMS dan HIV/AIDS, melibatkan LSM peduli AIDS dalam rangka pelaksanaan program P2 HIV/AIDS di kota Metro dan membentuk klinik VCT di kota Metro.
E. PENYAKIT DIARE
Diare adalah peningkatan volume, keenceran atau frekuensi buang air besar atau suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekwensi berak lebih dari biasanya(3 kali atau lebih dalam 1 hari).
Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB ( Kejadian Luar Biasa ) seperti halnya Kolera dengan jumlah penderita yang banyak dalam waktu yang singkat. Namun dengan tatalaksana diare yang cepat, tepat dan bermutu kematian dapat ditekan seminimal mungkin. Pada bulan Oktober 1992 ditemukan strain baru yaitu Vibrio Cholera 0139 yang kemudian digantikan Vibrio cholera strain El Tor di tahun 1993 dan kemudian menghilang dalam tahun 1995-1996, kecuali di India dan Bangladesh yang masih ditemukan. Sedangkan E. Coli 0157 sebagai penyebab diare berdarah dan HUS ( Haemolytic Uremia Syndrome ). KLB pernah terjadi di USA, Jepang, Afrika selatan dan Australia. Dan untuk Indonesia sendiri kedua strain diatas belum pernah terdeksi. Pada daerah Provinsi Lampung khususnya di Kota Metro. Pelaksanaan pemberantasan penyakit diare di kota Metro meliputi kegiatan penemuan dan pengobatan penderita baik disarana kesehatan meupun kader kesehatan. Hasil kegiatan program P2 Diare di Pusksmas di kota Metro yang terlaporkan pada tahun 2009 sebanyak 4362 kasus diare yang terlaporkan dari puskesmas di kota Metro. Sedangkan pada tahun 2008 yaitu 5222 kasus.Kasus diare yang ditemukan dan dilaporkan oleh kader pada tahun 2009 sebanyak 57 kasus dengan pemakaian oralit sbanyak 412 bungkus.
Penggunaan cairan rhidriasi atau oralit pada tahun 2009 sebesar 20489 bungkus. Pemakaian oralit sharusnya minimal yaitu 61467 bungkus. Ideal penggunaan cairan oralit perkasus sebanyak 5-6 per pendrita. Rendahnya pemakaian oralit tersebut disebabkan oleh rendahnya peran serta kader dalam melaporkan pemakaian cairan oralit.
Dari hasil Inciden Rate yakni tertinggi di puskesmas Mulyojati (56.12 per 1000 penduduk) sedangkan terendah terdapat di puskesmas Ganjar Agung (19.65 per 1000 penduduk). Insiden Rate Penyakit Diare di Kota Metro pada tahun 2009 yaitu 32.06 per 1000 penduduk. Adapun penmuan penderita diare, pemakaian oralit, CFR dan pran serta kader kesehatan per puskesmas di kota Metro tahun 2009 sebagai berikut :
1. Puskesmas Iringmulyo
Jumlah penderita diare pada tahun 2008 ditemukan 1379 kasus pemakaian oralit sebanyak 3573 bungkus. Insiden Rate penyakit diare padan tahun 2008 sebesar 25.8 per 1000 penduduk dan CFR 0%. Sedangkan pada tahun 2009 ditemukan kasus diare sebanyak 703 kasus dengan pemakaian oralit sebanyak 3515 bungkus. Oleh karena itu terjadi penurunan kasus penyakit diare di wilayah Puskesmas Iringmulyo sebesar 49% jika dibandingkan dengan tahun 2008. Jadi kesadaran masyarakat dalam melakukan PHBS sudah meningkat dan program penyehatan lingkungan terutama pada sanitasi dasar sudah memadai. Insiden Rate di Puskesmas Iringmulyo pada tahun 2009 yaitu 39.17 per 1000 penduduk dan CFR 0%
2. Puskesmas Banjarsari
Diwilah kerja puskesmas Banjarsari pada tahun 2008 ditemukan 1134 kasus dengan Insiden Rate yaitu 87.45 per 1000 penduduk dan CFR 0%. Sedangkan pada tahun 2009 ditemukan kasus diare sebanyak 377 kasus dengan pemakaian oralit sebanyak 673 bungkus. Insiden Rate yaitu 41.59 per 1000 penduduk dan CFR 0%. Oleh karena itu terjadi penurunan Insiden Rate sebesar 45.86% jika dibandingkan dengan tahun 2008. Jadi kesadaran masyarakat dalam melakukan PHBS sudah meningkat. Pemberian oralit kepada penderita diare masih belum seperti yang seharusnya.
3. Puskesmas Bantul
Pada tahun 2008 ditemukan kasus diare 958 penderita. Angka Insiden Rate penyakit diare sebesar 75.22 per 1000 penduduk dan CFR 0%, berarti tidak ada kasus kematian. Sedangkan pada tahun 2009 ditemukan kasus diare sebanyak 498 kasus dengan pemakaian oralit sebanyak 2988 bungkus. Penemuan penderita diare oleh kader Posyandu di wilayah puskesmas Bantul yaitu sebanyak 12 kasus dengan pemakaian oralit sebanyak 72 bungkus. Insiden Rate kasus diare sebesar 39.26 per 1000 penduduk dan CFR 0%. Oleh karena itu terjadi penurunan Insiden Rate penyakit diare di wilayah puskesmas Bantul sebesar 35.96% jika dibandingkan dengan tahun 2008. Jadi kesadaran masyarakat dalam melakukan PHBS sudah meningkat dan program penyehatan lingkungan terutama pada sanitasi dasar sudah memadai.
4. Puskesmas Ganjar Agung
Diwilah kerja puskesmas Ganjar Agung pada tahun 2008 ditemukan jumlah penderita diare sebesar 419 penderita dari perkiraan jumlah kasus diare sebesar 5444 penderita dan target program sebesar 233 penderita. Angka Insiden Rate pada tahun 2008 yaitu 37.46 per 1000. Sedangkan pada tahun 2009 ditemukan kasus diare sebanyak 208. Penemuan penderita diare oleh kader Posyandu di wilayah puskesmas Ganjar Agung yaitu sebanyak 45 kasus dengan pemakaian oralit sebanyak 160 bungkus. Angka Insiden Rate penyakit diare pada tahun 2009 sebesar 19.65 per 1000 penduduk berarti terjadi penurunan Insiden kasus diare di wilayah puskesmas Ganjar Agung sebesar 17.81% jika dibandingkan dengan tahun 2008. Angaka CFR penyakit diare sebesar 0% berarti tidak terjadi kasus kematian. Hal ini kemungkinan kesadaran masyarakat dalam melakukan PHBS sudah meningkat dan program penyehatan lingkungan terutama pada sanitasi dasar sudah memadai.
5. Puskesmas Yosomulyo
Diwilah kerja puskesmas Yosomulyo pada tahun 2008 ditemukan jumlah penderita diare sebesar 973 penderita dari perkiraan jumlah kasus diare sebesar 11206 penderita dan target program sebesar 515 penderita. Angka Insiden Rate diare pada tahun 2008 yaitu 37.46 per 1000 penduduk. Pemakaian oralit sebanyak 2537 bungkus. Pada tahun 2009 ditemukan 565 penderita diare di wilyah Puskesmas Yosomulyo dngan pemakaian oralit sebanyak 2687 bungkus. Angka Insiden Rate pada tahun 2009 yaitu 21.32 per 1000 penduduk. Jadi mengalami penurunan sebesar 16.14% jika dibandingkan dengan tahun 2008. Angka CFR sebesar 0% berarti tidak terdapat kasus kematian. Hal ini kemungkinan kesadaran masyarakat dalam melakukan PHBS sudah meningkat dan program penyehatan lingkungan terutama pada sanitasi dasar sudah memadai.
6. Puskesmas Metro
Diwilah kerja puskesmas PKM Metro pada tahun 2008 ditemukan jumlah penderita diare sebesar 1194 penderita dari perkiraan jumlah kasus diare sebesar 9578 penderita dan target program sebesar 646 penderita. Angka Insiden Rate diare pada tahun 2008 yaitu 53.78 per 1000 penduduk. Pemakaian oralit sebanyak 2912 bungkus. Pada tahun 2009 ditemukan 727 kasus diare di wilyah Puskesmas Metro dengan pemakaian oralit sebanyak 3635 bungkus. Angka Insiden Rate yaitu 32.10 per 1000 penduduk dan angka CFR 0% berarti tidak terdapat kasus kematian. Jadi mengalami penurunan angka Insiden Rate di wilyah Puskesmas Metro sebesar 21.68% jika dibandingkan dengan tahun 2008. Dari tahun ke tahun selalu terjadi penurunan angka kesakitan penyakit diare di wilyah Puskesmas Metro, hal ini kemungkinan kesadaran masyarakat dalam melakukan PHBS sudah meningkat dan program penyehatan lingkungan terutama pada sanitasi dasar sudah semakin memadai.
7. Puskesmas Mulyojati
Pada tahun 2008 ditemukan pendrita diare sebesar 737 penderita dari perkiraan jumlah kasus diare sebesar 3588 penderita dan target program sebesar 432 penderita. Angka Insiden Rate penyakit diare pada tahun 2008 sebesar 88.63 per 1000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2009 ditemukan sebanyak 476 kasus diare dengan angka Insiden Rate sebesar 56.12 per 1000 penduduk dan angka CFR 0%. Oleh karena itu terjadi penurunan Insiden Rate di wilayah Puskesmas Mulyojati sebesar 32.51% jika dibandingkan dengan tahun 2008. Jadi kesadaran masyarakat dalam melakukan PHBS sudah meningkat dan program penyehatan lingkungan terutama pada sanitasi dasar sudah semakin memadai.
8. Puskesmas Karangrejo
Diwilah kerja puskesmas Karangrejo pada tahun 2008 ditemukan jumlah penderita diare sebesar 371 penderita dari perkiraan jumlah kasus diare sebesar 3957 penderita dan target program sebesar 266 penderita. Insiden Rate diare pada tahun 2008 yaitu 40.47 per 1000 penduduk. Pada tahun 2009 ditemukan 291 kasus diare di wilyah Puskesmas Karangrejo dengan Angka Insiden Rate yaitu 31.10 per 1000 penduduk dan angka CFR (Case Fatality Rate) 0% berarti terjadi penurunan angka Insiden Rate diare di wilyah krja Puskesmas Karangrejo sebesar 9.37% jika dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini kemungkinan kesadaran masyarakat dalam melakukan PHBS sudah meningkat dan program penyehatan lingkungan terutama pada sanitasi dasar sudah semakin memadai.
9. Puskesmas Purwosari
Puskesmas Purwosari merupakan puskesmas induk baru dan baru operasional awal tahun 2009. Diwilah kerja puskesmas Purwosari pada tahun 2009 ditemukan jumlah penderita diare sebesar 195 penderita dari perkiraan jumlah kasus diare sebesar 1763 penderita dan target program sebesar 183 penderita. Pemakaian oralit sebanyak 326 bungkus. Insiden Rate diare pada tahun 2009 yaitu 46.80 per 1000 penduduk.
10. Puskesmas Yosodadi
Puskesmas Yosodadi merupakan puskesmas induk baru dan baru operasional awal tahun 2009. Diwilah kerja puskesmas Yosodadi pada tahun 2009 ditemukan jumlah penderita diare sebesar 322 penderita dari perkiraan jumlah kasus diare sebesar 5661 penderita dan target program sebesar 279 penderita. Pemakaian oralit sebanyak 1605 bungkus. Insiden Rate diare pada tahun 2009 yaitu 24.06 per 1000 penduduk. Berkenaan dengan hasil kegiatan program diare di Kota Metro tahun 2009, maka diketahu sebagai berikut :
INCIDEN RATE PENYAKIT DIARE PER PUSKESMAS
DI KOTA METRO TH 2009
Ket : Inciden Rate : per 1000 penduduk
Target ditentukan : 3% per jumlah penduduk
CAKUPA PROGRAM DIARE
DI KOTA METRO TH 2009
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Untuk mengetahui cara penularan penyakit yang mudah menular ini dapat dilakukan dengan mengetahui jenis tingkatan dari penyakit tersebut, contohya penyakit AIDS/HIV, penyakit ini tergolong mematikan seperti penyakit mematikan lain seperti jantung, kanker dan lain-lain.
Dalam mengetahui apa saja dampak yang telah diakibatkan oleh penyakit menular ini banyak sekali seperti pada AIDS, kusta, IMS, diare, TB, dan lain-lain yang dapat berakibat kelumpuhan, kerusakan organ dalam, dan bisa sampai menimbulkan kematian jika penyakit ini tidak segera disembuhkan. Untuk mengetahui gejala-gejala yang ditimbulkan oleh seseorang yang terjangkit penyakit menular seperti pada penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusi. Seperti pada penyakit kusta memiliki gejala seperti timbul bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak, adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus seryta peroneus, kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat, adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit, alis rambut rontok, muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa). Pada penyakit lepra yang salah satu bakteri penyebabnya juga penyebab pnyakit kusta yakni Mycobacterium leprae, memiliki gejala panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil, anoreksia, nausea, kadang-kadang disertai vomitus, cephalgia, kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis,. kadang-kadang juga disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan hepatospleenomegali dan neuritis. Gejala-gejala ini masih banyak lagi sampai ada yang berakibat organ-organ dalam tubuh rusak.
Untuk mengetahui cara yang tepat dalam memutuskan rantai penularan serta cara penyembuhan yang terbaik bagi para penderita ini dapat dilakukan banyak hal seperti yang telah diinformasikan pada setiap puskesmas ataupun tempat kesehatan yang lain, misalkannya pada penyakit tuberculosis yang diakibatkan kuman TB, kuman ini cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Jadi untuk memutuskan kuman TB jadi harus diperbanyak dalam olah raga yang terkena sinar matahari pagi maupun sore. Dalam penyembuhan penyakit TB ini harus melakukan berbagai intruksi dari puskesmas atau tempat-tempat kesehatan seperti rumah sakit. misalkan berolah raga, meminim obat, perawatan dan lain-lain. Misalkan petugas PMO, PMO adalah seseorang yang bertugas untuk mengawasi, memberikan dorongan dan memastikan pendrita TB menelan OAT secara teratur sampai selesai. Untuk mengetahui tindakan yang harus dilakukan dalam mengantisipasi penyakit agar tidak menular, dapat dilakukan dengan menutup hidung dengan masker agar penyakit yang menular lewat udara dapat terjegah, atau bisa memilih makanan yang baik dan masih banyak lagi.
B. SARAN
Dalam mensukseskan program kesehatan yang ada di Indonsia khusunya pada masalah penyakit yang dapat menular. Kami menghimbau agar setiap masyarakar agar lebih mencintai dan menjaga lingkungan skitarnya, jika hal ini tidak dilaksanakan maka akan timbul berbagai masalah seperti adanya penyakit yang mampu menular. Kami juga menghimbau agar tempat-tempat kesehatan seperti POSYANDU, PUSKESMAS, RS dan lain-lain, untuk lebih giat megajak masyarakat untuk melakukan hal-hal yang mampu mencegah penyakit untuk datang kembali serta memberi informasi tentang asal mula timbul penyakit serta dampaknya.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
.
.
.
.
No comments:
Post a Comment