Orang tua hendaknya paham kapan otak anak bisa dengan mudah menyerap rangsangan tertentu.
Otak adalah karunia yang luar biasa dari Sang Pencipta, karena otaklah yang mengatur dan menjadi pusat kendali dalam kehidupan. Otak pula yang menentukan cara berpikir, perasaan, tingkah laku, dan kemampuan seseorang dalam bersosialisasi.
Begitu hebatnya fungsi otak, tak heran bila banyak orang tua berharap anaknya memiliki otak yang cerdas. Untuk mencapai itu, banyak cara yang kemudian diupayakan oleh orang tua, karena kecerdasan memang dapat dikembangkan.
Untuk memaksimalkan perkembangan otak anak, orang tua hendaknya cermat mengamati perkembangannya. Ada masa-masa tertentu dimana otak sedang sangat peka. "Ibaratnya ada jendela-jendela yang sedang terbuka yang siap menerima rangsangan sehingga perkembangan yang diharapkan dapat maksimal. Semakin kaya rangsangan, semakin besar kesempatan anak untuk meningkatkan kecerdasannya,'' ujar Ery Soekresno, Psi.
Untuk mengoptimalkan perkembangan kecerdasan anak, diperlukan lingkungan yang kaya akan rangsangan. Yang perlu diperhatikan, lingkungan ini sebaiknya memberikan lebih sedikit tema tapi masing-masing rangsangan diberikan secara lebih dalam. Jadi bukan dengan banyak memberikan tema.
Tak hanya rangsangan yang tepat yang dibutuhkan dalam perkembangan kecerdasan anak, tapi juga emosi. Emosi memiliki pengaruh yang kuat pada perkembangan otak dan belajar.
AKIBAT DIABAIKAN
Otak bekerja sesuai irama yang ada pada masing-masing tubuh anak. Jadi, tak perlu heran bila tiap anak baru dapat berjalan dan berbicara dalam waktu yang berbeda. Demikian pula dengan kemampuan membaca, menulis dan berhitung.
Hanya saja yang patut diperhatikan adalah masa-masa dimana otak sangat peka untuk berkembang secara optimal atau yang disebut golden age. Inilah yang juga kerap disebut sebagai masa kritis atau masa-masa peka.
Bila pada masa-masa kritis tersebut Bapak dan Ibu kurang memberikan rangsangan yang optimal untuk perkembangan anak, maka akan merugi. Misalnya, kata Ery, jika anak tidak didendangkan pada usia 03 tahun, maka lewat dari usia 3 tahun anak akan susah menangkap nada. Bahkan mungkin kalau bernyanyi akan fals. "Jadi yang lebih baik adalah kalau kita mengajarkan sesuatu pada periode dimana jendela di otaknya masih terbuka maka hasilnya akan lebih maksimal,'' tambahnya.
Contoh lainnya, usia 3 sampai 12 tahun adalah masa yang tepat untuk mengajak anak belajar bahasa asing. Pada saat ini, jendela di otak anak sedang terbuka untuk kemampuan itu. Bila ini dimanfaatkan, maka anak dapat sefasih native speaker-nya.
Kalaupun belajar bahasa asing dilakukan setelah masa akil balig, motivasi anak harus lebih kuat dan usahanya pun harus lebih keras. Jika sebelum usia akil balig pelajaran bahasa asing sudah sempat diberikan walau hasilnya belum lancar, itu sudah cukup menguntungkan. Minimal jejak-jejaknya sudah ada. Namun, apa pun stimulasi berupa pengetahuan yang sudah diberikan tetap butuh pengulangan di usia 1213. Bila tidak pengetahuan itu akan hilang karena sel otak memang butuh pengulangan stimulasi untuk menyegarkan memori.
BERBAGAI MASA KRITIS
Masa peka golden age berkembang di setiap tahapan usia. Inilah perinciannya:
Pengalaman Masa Peka Tertentu | Masa Peka |
1. Ikatan hati | 0 18 bulan |
2. Keterampilan motorik prenatal | hingga 4 tahun |
3. Berbicara dan kosakata | 0 3 tahun |
4. Matematika dan logika | 1 4 tahun |
5. Nada | 3 12 tahun |
6. Bahasa asing | 3 12 tahun |
CONTOH KOREKSI
Sayangnya masa kritis tersebut belumlah banyak diketahui dan dimengerti oleh para orang tua. Akibatnya, rangsangan-rangsangan yang dapat mengembangkan berbagai kecerdasan anak tidak diberikan secara optimal.
Nah, tidak maksimalnya perkembangan anak akibat terlewatnya stimulasi di masa kritis umumnya baru dapat teridentifikasi setelah anak memasuki jenjang sekolah dasar (SD). Biasanya ditandai dengan anak mendapat kesulitan dalam belajar matematika, membaca, dan terkadang juga tak bisa diam.
Bila masa kritis tersebut terlewat, orang tua tetap dapat merangsang perkembangan anak. Cara-cara yang dapat dilakukan tak jauh berbeda, hanya saja usahanya harus dua kali lebih lebih keras atau bahkan lebih. Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan:
1. Ikatan hati
Orang tua hendaknya banyak melakukan kegiatan bersama, banyak melakukan sentuhan hangat, misalnya dengan memeluk dan mencium. Jangan lupa pula untuk memberikan ungkapan sayang secara nyata dengan kata-kata.
Selain itu orang tua juga harus tetap berupaya memberikan prioritas yang utama kepada anak tersebut. Misalnya, bila si anak sedang sakit, rawatlah dan dampingi dia.
2. Keterampilan motorik
Dalam hal ini yang lebih diutamakan adalah keterampilan motorik kasarnya. Ajaklah anak-anak berolahraga, main bola, lari-lari atau kegiatan lain yang lebih banyak melibatkan aktivitas fisik.
3. Berbicara dan kosakata
Orang tua dapat memulai dengan mendongengkan cerita anak-anak, mengajarkan puisi yang pendek-pendek. Sesekali boleh juga memutarkan kaset dongeng anak-anak. Untuk mengetahui tingkat pemahaman anak, mintalah anak untuk menceritakan kembali dongeng yang telah diceritakan.
4. Matematika dan logika
Untuk langkah awal kenalkan dulu konsepnya. Misalnya, satu kucing, dua kucing, dan seterusnya. Setelah anak paham, tingkatkan pada pemahaman simbolnya, yakni langsung mengetahui bilangan dasar mulai dari 1 sampai 10. Selanjutkan dapat dikembangkan pada konsep lebih banyak dan lebih sedikit, dan seterusnya.
5. Nada
Cobalah untuk mengenalkan beragam irama. Mulailah dengan ketukan yang sederhana, misalnya dengan ketukan kaki, tepukan tangan atau dapat dengan mengenalkan beragam bunyi melalui peralatan rumah tangga. Misalnya, dengan panci, gelas, dan ember.
Kemudian, ajaklah anak untuk bernyanyi atau mendengarkan beragam bunyi alat musik. Lambat laun kepekaannya terhadap nada akan timbul.
6. Bahasa asing
Cobalah untuk mengajak anak-anak berbicara bahasa asing pada waktu-waktu tertentu. Bacakan juga buku cerita yang menggunakan bahasa asing. Sesekali, setelkan kaset yang berisi lagu-lagu atau cerita anak-anak dalam bahasa asing yang belum diterjemahkan.
7. Konsentrasi Belajar
Adanya kebiasaan memaksa anak melewati tahapan-tahapan perkembangan yang seharusnya dilalui juga dapat memberikan dampak yang sama. Misalnya, ada sebagian orang tua yang tidak suka anaknya merangkak di lantai ke sana kemari, sehingga tahapan ini dihindari. Padahal dengan merangkak bayi belajar tentang koordinasi gerak dan konsep ruangan.
Memang belum ada penelitian khusus tentang merangkak ini, tapi seorang psikolog yang telah bertugas selama 18 tahun memiliki pengalaman, anak yang tidak dibiarkan merangkak akan mengalami kesulitan belajar. Kaitannya adalah tidak merangkak menyebabkan tulang punggung anak kurang kuat, sehingga nantinya ia sulit duduk diam lalu mendapat kesulitan berkonsentrasi.
Untuk melakukan koreksi atas kekurangan tersebut, orang tua harus berupaya ekstra keras dan hasilnya pun belum tentu semaksimal saat jendelanya terbuka untuk perkembangan itu. Tentu saja tugas ini cukup memberatkan orang tua, karena pusat perhatian dan minat anak sudah beralih ke tahapan berikutnya.
Selain dengan melakukan upaya tambahan untuk memaksimalkan perkembangan, ada pula terapi yang dapat dilakukan. Misalnya, mengejar perkembangan motorik dapat dilakukan dengan cara latihan mendribel bola basket dalam posisi diam dengan posisi badan tegak (berdiri).
Diharapkan dengan terapi ini, otot punggung anak akan ikut bergerak, berkembang, dan menjadi kuat. Dengan begitu anak dapat duduk diam untuk beberapa waktu dan berkonsentrasi. Atau, untuk anak yang menjelang remaja, terapi meningkatkan konsentrasi dapat dilakukan dengan yoga serta senam tertentu.
Namun, semua itu tak akan berhasil tanpa kedekatan orang tua dengan anak. Bangunlah kedekatan ini dengan komunikasi yang intens antara orang tua dengan anak. Apakah itu melalui pembicaraan dari hati ke hati, santai, dan tidak menggurui, ataukah mengajak mereka bermain bersama, ataupun bernyanyi bersama. Kedekatan orang tua dengan anak akan membuahkan perkembangan emosi yang sehat sebagai landasan bagi kekuatan otak atau perkembangan kecerdasannya.
No comments:
Post a Comment